Rabu, 03 Juni 2009

PENELITIAN TINDAKAN KELAS
SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN PROFESIONALISME GURU
Oleh : R. AMIR WAZID, S.Pd
PENDAHULUAN
Penelitian tindakan kelas dewasa ini merupakan penelitian yang paling ngetren dikalangan praktisi, terutama digunakan untuk pemecahan permasalahan dan mutu diberbagai bidang. Dalam dunia pendidikan, khususnya dalam kegiatan pembelajaran penelitian tindakan kelas merupakan penelitian terapan, yang bermafaat bagi guru untuk meningkatkan proses dan hasil belajar di kelas. Permasalahan aktual yang ditemukan guru di kelasnya, melalui kegiatan ini dapat dipecahkan. Dilihat dari segi keuntungannya penelitian tindakan kelas merupakan penelitian yang ideal untuk dilakukan guru. Selain sebagai penelitian terapan, juga sekaligus merupakan penelitian yang dapat dilaksanakan di kelasnya, sehingga guru tidak lagi perlu meninggalkan kelasnya. Dengan demikian guru dapat berperan ganda yaitu sebagai praktisi, juga sekaligus sebagai peneliti pendidikan. Beberapa keuntungan yang dapat diperoleh guru melalui penelitian ini, antara lain:1. Guru menjadi peka dan tanggap terhadap dinamika pembelajaran, dan guru reflektif dan kritis terhadap kegiatan di kelasnya.2. Guru dapat meningkatan kinerjanya lebih profesional, karena akan selalu melakukan inovasi yang dilandasi dari hasil penelitian.3. Guru dapat memperbaiki tahapan-tahapan pembelajaran, melalui kajian aktual yang muncul di kelasnya.4. Guru tidak terganggu tugasnya, dalam melakukan penelitian. Penelitian terintegrasi dengan pembelajaran yang dilakukan dikelasnya.5. Guru menjadi kreatif karena dituntut untuk melakukan inovasi.Penerapan penelitian tindakan kelas oleh guru mempunyai makna yang sangat tinggi. Oleh sebab itu perlu dilakukan pengembangan wawasan dan implementasi model penelitian ini, sehingga memungkinkan membudaya pada komunitas guru.
APAKAH PENELITIAN TINDAKAN KELAS ITU
Pengertian Penelitian Tindakan Kelas Sebelum membahas tentang proposal penelitian tindakan, terlebih dahulu perlu kita samakan persepsi tentang konsepsi penelitian tindakan kelas. Penelitian tindakan kelas merupakan hasil adaptasi dari penelitian tindakan yang awalnya muncul pada dunia industri. Adaptasi menjadi penelitian tindakan kelas pertama kali dikenalkan oleh ahli psikologis sosial Amerika Kurt Lewin pada tahun 1946. Gagasan Lewin ini yang selanjutnya dikembangkan oleh ahli lain seperti Stephen Kemmis, Robbin Mc Targgart, John Elliot, Dave Ebbutt dll. Ada beberapa definisi tentang penelitian tindakan : Elliot (1982) , menyatakan bahwa penelitian tindakan merupakan kajian tentang situasi sosial dengan maksud untuk meningkatkan kualitas tindakan di dalamnya. Seluruh prosesnya —– telaah, diagnosis, perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan pengaruh —– menciptakan hubungan yang diperlukan antara evaluasi diri dan perkembangan profesional. Cogen dan Manion (1980), menyatakan bahwa penelitian tindakan adalah intervensi sekala kecil terhadap tindakan di dunia nyata dan pemeriksaan cermat terhadap pengaruh intervensi tersebut.Kemmis dan Targart (1988), menyatakan bahwa penelitian tindakan merupakan bentuk penelitian reflektif diri kolektif, yang dilakukan oleh pesertanya dalam situasi sosial untuk meningkatkan penalaran dan keadilan praktik pendidikan dan praktik sosial mereka, serta pemahaman mereka terhadap praktik-praktik itu, dan terhadap situasi tempat dilakukannya praktik-praktik tersebut.Dari ketiga kutipan definisi di atas dapat diartikan bahwa : 1) hasil penelitian tindakan dipakai sendiri oleh penelitinya, 2) penelitiannya terjadi di dalam situasi nyata yang permasalahannya perlu dipecahkan, dan hasilnya diterapkan/ dipraktikkan.Menurut Siswojo Hardjodipuro, yang dimaksud oleh Carr dan Kemmis, penelitian tindakan kelas adalah suatu bentuk refleksi diri yang dilakukan oleh partisipan (guru, siswa, kepala sekolah dll) dalam situasi sosial (termasuk pendidikan) untuk memperbaiki rasionalitas dan kebenaran . Hardjodipuro lebih lanjut menyatakan bakwa penelitian tindakan kelas merupakan suatu pendekatan untuk memperbaiki pendidikan melalui perubahan, dengan mendorong para guru untuk memikirkan praktik mengajarnya sendiri, agar kritis terhadap praktik tersebut, dan agar mau untuk mengubahnya. PTK bukan hanya sekedar mengajar, melainkan mempunyai makna sadar dan kritis terhadap mengajar dan menggunakan kesadaran dirinya untuk siap adanya perubahan dan perbaikan pada proses pembelajarannya. PTK mendorong guru bertindak dan berfikir kritis dalam melaksakanan tugasnya secara profesional. 2. Karakteristik Penelitian Tindakan Kelas Ada sedikit yang membedakan penelitian tindakan dengan penelitian lainnya. PTK merupakan penelitian terapan, dimana hasilnya digunakan untuk diterapkan sebagai pengalaman praktis. Ada yang menyebutkan bahwa PTK mempunyai ciri seperti penelitian kualitatif dan eksperimen. Dikatakan kualitatif karena datanya tidak memerlukan perhitungan secara statistik, sedangkan dikatakan penelitian eksperimental karena diawali dengan perencanaan, perlakuan terhadap subjek penelitian, dan adanya evaluasi hasil yang dicapai setelah perlakuan.
KARAKTERISTIK PTK
Richart Winter menyebutkan adanya 6 karakteristik PTK yaitu :a. Kritik refleksif; adalah adanya upaya evaluasi atau penilaian yang didasarkan catatan data yang telah dibuat, dan cara refleksi sehingga dapat ditransformasikan menjadi pertanyaaan dan alternatif yang mungkin dapat disarankan. b. Kritik dialektis; adalah adanya kesediaan peneliti untuk melakukan kritik pada fenomena yang ditelitinya. Dalam hal ini guru perlu menafsirkan data dengan konteks yang harus ada, menganalisis katagori yang berbeda untuk menemukan kesamaan, dan menangkap isyarat bahwa fenomena akan dapat berubah. c. Kolabortif; adalah adanya kerjasama (atasan, sejawat, siswa dll), yang dapat dipergunakan sebagai sudut pandang. Peneliti dalam PTK adalah bagian dari situasi yang diteliti, peneliti sebagai pengamat juga terlibat langsung dalam proses situasi tersebut. Kolaborasi pada anggota dalam situasi itu yang memungkinkan proses itu berlangsung. Untuk menjamin kolaborasi perlu mengumpulkan semua sudut pandang anggota yang menggambarkan struktur situasi yang diteliti. Tetapi perlu diingat bahwa peneliti mempunyai kewenangan dalam penelitian, sehingga tidak mutlak semua pandangan harus digunakan. d. Resiko; adalah adanya keberanian peneliti untuk mengambil resiko pada waktu berlangsungnya penelitian. Resiko yang mungkin muncul adalah melesetnya hipotesis, dan kemungkinan tuntutan untuk melakukan transformasi. Peneliti mungkin berubah pandangannya, karena melihat sendiri pertentangan yang ada. e. Struktur majemuk; adalah adanya pandangan bahwa penelitian ini mencakup berbagai unsur yang terlibat, agar bersifat komprehensif. Misal jika penelitian pada pengajaran, maka situasinya harus mencakup guru, murid, tujuan pembelajaran, interaksi kelas, hasil dll. f. Internalisasi teori dan praktik; adalah adanya pandangan bahwa teori dan praktik bukan dua hal yang berbeda, tetapi merupakan dua tahap yang berbeda, yang saling tergantung, dan keduanya berfungsi untuk mendukung transformasi.Dari karakteristik di atas menggambarkan bahwa PTK ada perbedaan dengan penelitian lainnya.
SASARAN PTK
Sasaran dan Obyek PTKMeliputi komponen-komponen dari sebuah kelas 1. Siswa 2. Guru3. Materi Pelajaran 4. Unsur peralatan atau sarana pendidikan 5. Unsur hasil pembelajaran 6. Unsur Lingkungan 7. Unsur Pengelolaan Siswa Permasalahan tentang siswa misalnya: perilaku kedisiplinan, keseriusan siswa saat mengerjakan tugas, kebiasaan siswa dalam mengajukan pertanyaan dan sebagainyaGuru Permasalahan yang berkenaan dengan guru: metode mengajar yang bervariasi; metode diskusi terarah, mengajar berkelompok, dsb.Materi PelajaranJudul-judul yang dapat diangkat dalam penelitian: urutan materi, pengorganisasian materi atau cara penyajiannya; menambah sumber bahan untuk penguasaan materi, dsb.Unsur peralatan atau sarana pendidikanMasalah-masalah yang berkenaan dengan peralatan: penyediaan alat, peralatan individu dan kelompok; penertiban penggunaan alat, dsb.Unsur hasil pembelajaran Berkenaan dengan tujuan yang akan dicapai dalam pembelajaran yaitu berkaitan dengan proses pembelajaranUnsur Lingkungan Judul-judul yang berkenaan dengan lingkungan, mengubah situasi ruang kelas; penataan sekolah; penataan lingkungan, dsb Unsur Pengelolaan Judul-judul yang berkenaan dengan pengelolaan: pengaturan tempat duduk siswa; penempatan peralatan milik siswa; pengaturan urutan jadwal, dsb
MODEL PENELITIAN TINDAKAN KELAS
Model Penelitian Tindakan Kelas Ada beberapa model penelitian tindakan yang kita kenal, antara lain : Model Kurt Lewin, Model Kemmis dan targart, Model John Elliott, dan Model Dave Ebbutt. Model Kurt Lewin menggambarkan dalam siklus terdapat empat langkah yaitu Planning (perencanaan), Acting (tindakan), Observing (pengamatan), dan Refelecting (refleksi). Kemudian model Kurt Lewin ini dikembangkan oleh Kemmis dan Targart, dimana juga menggunakan 4 langkah tersebut, hanya saja sesudah suatu siklus diimplementasikan, kemudian diikuti dengan Replanning (perencanan ulang). Demikian seterusnya satu siklus diikuti oleh siklus berikutnya, hingga permasalahan terpecahkan. Model John Elliott, lebih komplek dan ditail. Dalam tiap siklus memungkinkan terdiri dari beberapa tindakan, dan setiap tindakan memungkinkan terdiri dari beberapa langkah.Secara sederhana kita akan menggunakan model Kemmis dan Targart, karena model ini yang lebih mudah dan praktis. Secara skematis model Kemmis dan Targart digambarkan sebagai berikut: Gb1. Model Kemmis dan Targart PELAKSANAAN PENELITIAN TINDAKAN KELAS1. Tahapan Palaksanaan Penelitian Tindakan KelasPada dasarnya PTK terdiri dari 4 langkah di atas yaitu Planning (perencanaan), Acting (tindakan), Observing (pengamatan), dan Refelecting (refleksi). Namun sebelumnya tahapan-tahapan di atas diawali dengan pra PTK yaitu : · Identifikasi masalah· Rumusan masalah· Analisis masalah· Rumusan hipotesis tindakanDalam penelitian tindakan, permasalahan yang perlu dipecahkan adalah yang dirasakan dan diidentifikasi oleh peneliti sendiri, sebagai kesenjangan dalam kinerja yang perlu diperbaiki. Permasalahan yang perlu dipecahkan dirumuskan dengan mendiskripsikan kenyataan yang ada dan kondisi yang diinginkan. Selanjutnya permasalahan perlu dianalisis untuk mengetahui dimensi-dimensi problem yang mungkin ada untuk mengidentifikasi aspek pentingnya dan untuk memberikan penekanan yang memadai. Hipotesis tindakan bukan hipotesis perbedaan atau hubungan, melainkan hipotesis tindakan yang berisi tindakan untuk menghasilkan perbaikan yang diinginkan. Untuk memandu pada pra PTK ini ada beberapa pertanyaan yang dapat menjadi sikuen yaitu :· Apa yang menjadi kesenjangan pada fenomena pembelajaran di kelas?· Mengapa hal ini terjadi dan apa sebabnya ?· Apa yang dapat dilakukan dan bagaimana caranya mengatasi kesenjangan itu ?· Bukti apa yang dapat dikumpulkan untuk menunjukkan fakta dalam mengatasi kesenjangan itu ?· Bagaimana cara mengumpulkan bukti-bukti itu ?Tahapan PTK disini sebenarnya merupakan reflektif guru pada permasalahan yang dihadapi dalam kelasnya. Dari sinilah penelitian tindakan kelas akan dilakukan.a. Planning (perencanaan)Rencana tindakan mencakup semua langkah tindakan sbb: 1) apa yang diperlukan untuk menentukan kemungkinan terpecahkannya masalah yang telah dirumuskan, 2) alat-alat dan teknik yang diperlukan untuk mengumpulkan data/ informasi, 3) rencana perekaman/ pencatatan data dan pengolahannya, dan 4) rencana untuk melaksanakan tindakannya dan mengevaluasi hasilnya. Dalam hal ini perlu dilakukan pemilihan prosedur penelitian, dan prosedur pemantauan atau evaluasi. Semua keperluan dalam pelakanaan penelitian , mulai dari materi, recana pembelajaran, instrumen observasi dll harus dipersiapkan dengan matang pada tahap ini. Pada tahapan ini perlu diperhitungkan bahwa kemungkinan tindakan sosial akan mengandung resiko, sehingga rencana ini harus fleksibel sehingga nantinya memungkinkan untuk diadaptasikan. b. Acting (tindakan)Tindakan yang dimaksud adalah implementasi dari semua rencana yang telah dibuat, dan biasanya berlangsung didalam kelas. Langkah-langkah yang dilakukan oleh guru tentu saja sesuai dengan skenario yang telah disusun dalam rencana pembelajaran. c. Observing (pengamatan)Observasi dilakukan terhadap proses tindakan, pengaruh tindakan, keadaan dan kendala tindakan, dan persoalan lain yang terkait. Observasi mengumpulkan data-data dengan menggunakan instrumen atau alat lainnya yang telah dibuat secara valid. Pelaksanaan observasi tidak harus dilakukan oleh guru sendiri, tetapi melibatkan kolaborator ( guru lain). Hanya saja pengamat/kolaborator tersebut jangan sampai melakukan intervensi pada roses pembelajaran yang sedang dilaksanakan. d. Refelecting (refleksi)Refleksi adalah mengingat atau merenung kembali pada tindakan yang telah dilakukan, dan dicatat dalam observasi. Dalam hal ini perlu untuk dipahami proses, permasalahan, dan kendala yang nyata dari tindakan yang telah dilakukan. Proses refleksi ini data dari semua catatan kolaborator dianalisis, untuk menentukan apakah hipotesis tindakan telah tercapai, atau untuk menentukan perencanaan kembali siklus berikutnya.
PROPOSAL PENELITIAN TINDAKAN KELAS
PROPOSAL PENELITIAN TINDAKAN KELASProposal penelitian berisi 1) Judul Penelitian, 2) Pendahuluan, 3) Perumusan Masalah, 4) Kajian Pustaka dan penelitian yang relevan, 5) Tujuan Penelitian, 6) Metode Penelitian, 7) Personalia Penelitian, Rencana Pembiayaan Penelitian, 9) Jadwal Kerja, dan 10) Lampiran. a. Judul penelitianJudul hendaknya mencerminkan gambaran dari pemecahan kinerja yang akan diperbaiki. Rumusan hendaknya singkat, tidak memberi tafsiran ganda, dan menunjukkan langkah pemecahan permasalahan. Contoh : 1. Peningkatan Minat Belajar Siswa pada materi Pokok Darah dengan Pengembangan Multimedia Interaktif, siswa kelas VII, A SMP Negeri 1 Sleman tahun 2005.2. Meminimalkan Kesalahan Siswa Kelas IX , A SMP Negeri 1 Sleman menggunakan Derivatif Bahasa Inggris melalui Pola Pelatihan Berjenjang tahun 2005.Pada halaman judul dilengkapi dengan nama dan instansi pengusul.Setelah halaman judul dilanjutkan dengan halaman pengesahan proposal PTK, yang berisi Judul, ketua peneliti, jumlah peneliti, lokasi penelitian, kerjasama dengan instansi lain, waktu penelitian, serta biaya yang diperlukan.b. PendahuluanBerisi hal-hal yang melatar belakangi penelitian perlu dilakukan, dan identifikasi permasalahan. Pada prinsipnya menggambarkan kondisi yang terjadi dan harapan , permasalahan, pentingnya masalah ini untuk diteliti, dan manfaat yang diharapkan dari penemuan penelitian.c. Perumusan masalahPerumusan masalah dalam kalimat naratif, baik pernyataan ataupun pertanyaan yang problematik. Biasanya dikemukakan melalui tahapan-tahapan diagnosis permasalahan, terapi yang digunakan untuk memecahkan masalah dan gambaran keberhasilan atau keefektifan tindakan. c. Kajian pustaka dan Penelitian yang relevanPada bagian dijelaskan landasan keilmuan yang terkait dengan konteks pemecahan permasalahan. Sedapat mungkin di usahakan agar mempertimbangkan kemutakhiran, dan relevansi bahan pustaka. Daikhir bagian ini biasanya dirumuskan kerangka berfikir yang dilanjutkan dengan rumusan hipotesis tindakan.d. Tujuan penelitianTujuan penelitian menggambarkan semua unsur yang terkait dengan harapan-harapan yang dilandasi oleh adanya kondisi riel yang perlu ditingkatkan. e. Manfaat penelitianPada PTK penelitian tentu saja akan memberikan kontribusi pada sekolah, peneliti, dan subjek yang diteliti. f. Metode penelitianMetode penelitian dituliskan secara jelas dan rinci. Pada metode, yang perlu dituliskan adalah : 1) setting atau lokasi penelitian, disini dituliskan identitas sekolah dan kondisi subjek yang diteliti. 2) subjek yang terlibat sebagai peneliti, kolaborator atau partisipan, 3) alat-alat dan teknik pengumpulan data, 4) rencana tindakan, yaitu langkah yang ditempuh , 5) Jenis dan sumber data, 6) teknik pengumpulan data, teknik analisa data, dan 7) kriteria, indikator evaluasi dan refleksi. g. Personalia penelitianBerisi tim peneliti dengan identitas. Disertakan pula kurikulum vitae yang menunjukkan bidang keahlian dan latar belakang yang relevan dengan penelitian yang dilaksanakan. Disamping itu perlu juga dirinci nama, tugas dan volume kerja.h. Rencana pembiayaan penelitianMeliputi jenis pengeluaran dan besarnya nilai biaya yang dikeluarkan. Biaya secara garis besarnya meliputi biaya persiapan, biaya operasional, dan biaya pelaporan.i. Jadwal kerjaJadwal kerja menggambarkan waktu pelaksanaan penelitian. Ini diawali dari penysunan proposal hingga pelaporan. Biasanya jadwal kerja disusun dalam metrik. j. Daftar pustakaPada daftar pustaka dicantumkan demua rujukan yang digunakan dalam penyusunan proposal. k. Lampiran Berisi semua pendukung yang diperlukan seperti instrumen yang digunakan, kurikulum vitae peneliti dll. PELAPORANPada prinsipnya laporan adalah kelanjutan dari proposal. Sebagaian besar isi laporan adalah sama dengan proposal, hanya ditambahkan abstrak, hasil penelitian , dan kesimpulan / saran. Pada PTK kemungkinan sering terjadi pengadaptasian, sehingga memungkinkan ada perubahan. Susunan laporan PTK secara umum adalah :1. Halaman sampulSampul bertuliskan judul laporan, peneliti dan instansi peneliti.2. Halaman pengesahanHalaman pengesahan berisi judul penelitian, tanggal pengesahan, dan yang mengesahkan.3. AbstrakMerupakan ringkasan dari semua tulisan, meliputi judul, tujuan, metode, dan hasil penelitian.4. Kata pengantar5. Daftar isi6. Bab I. Pendahuluan a. Latar belakangb. Rumusan masalahc. Tujuand. Manfaat7. Bab II. Kajian Pustaka a. Tanjauan kepustakaanb. Kerangka berfikirc. Hipotesis tindakan8. Bab III. Metodea. Seting penelitianb. Subjek penelitianc. alat-alat pengumpulan datad. rencana tindakane. Jenis dan sumber dataf. Teknik pengumpulan data g. Teknik analisa datah. Kriteria evaluasi dan refleksi9. Bab IV Hasil Penelitian10. Bab V. Kesimpulan dan sarana. Kesimpulan b. Saran11. Daftar pustaka 12. Lampiran
Daftar Pustaka : Anonim., 1997. Dasar- Dasar Metodologi Penelitian. Malang : Lembaga Penelitian IKIP Malang.Kemmis, S. & Mc Targart, R,. 1982. The Action Research Planner. 3rd ed. Victoria : Deakin UniversityMadya Suwarsih,. 1994. Panduan : Penelitian Tindakan. Yogyakarta : Lembaga Penelitian IKIP Yogyakarta.Margono, S,. 2000. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta : Rineka CiptaSudjana, A, dan Awal Kusumah,. 1992. Proposal Penelitian di Perguruan Tinggi. Bandung : Penerbit Sinar baru.Wibawa Basuki,. 2003. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah

Senin, 01 Juni 2009

PENYELESAIAN KESULITAN BELAJAR DAN PELAKSANAANBIMBINGANBELAJAR
DALAM USAHA UNTUK MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR
Oleh : R. Amir Wazid, S.Pd

A. Kesulitan Belajar.
Dalam kegiatan pembelajaran di sekolah, kita dihadapkan dengan sejumlah karakterisktik siswa yang beraneka ragam. Ada siswa yang dapat menempuh kegiatan belajarnya secara lancar dan berhasil tanpa mengalami kesulitan, namun di sisi lain tidak sedikit pula siswa yang justru dalam belajarnya mengalami berbagai kesulitan. Kesulitan belajar siswa ditunjukkan oleh adanya hambatan-hambatan tertentu untuk mencapai hasil belajar, dan dapat bersifat psikologis, sosiologis, maupun fisiologis, sehingga pada akhirnya dapat menyebabkan prestasi belajar yang dicapainya berada di bawah semestinya.
Kesulitan belajar siswa mencakup pengetian yang luas, diantaranya : (a) learning disorder; (b) learning disfunction; (c) underachiever; (d) slow learner, dan (e) learning diasbilities. Di bawah ini akan diuraikan dari masing-masing pengertian tersebut.
Learning Disorder atau kekacauan belajar adalah keadaan dimana proses belajar seseorang terganggu karena timbulnya respons yang bertentangan. Pada dasarnya, yang mengalami kekacauan belajar, potensi dasarnya tidak dirugikan, akan tetapi belajarnya terganggu atau terhambat oleh adanya respons-respons yang bertentangan, sehingga hasil belajar yang dicapainya lebih rendah dari potensi yang dimilikinya. Contoh : siswa yang sudah terbiasa dengan olah raga keras seperti karate, tinju dan sejenisnya, mungkin akan mengalami kesulitan dalam belajar menari yang menuntut gerakan lemah-gemulai.
Learning Disfunction merupakan gejala dimana proses belajar yang dilakukan siswa tidak berfungsi dengan baik, meskipun sebenarnya siswa tersebut tidak menunjukkan adanya subnormalitas mental, gangguan alat dria, atau gangguan psikologis lainnya. Contoh : siswa yang yang memiliki postur tubuh yang tinggi atletis dan sangat cocok menjadi atlet bola volley, namun karena tidak pernah dilatih bermain bola volley, maka dia tidak dapat menguasai permainan volley dengan baik.
Under Achiever mengacu kepada siswa yang sesungguhnya memiliki tingkat potensi intelektual yang tergolong di atas normal, tetapi prestasi belajarnya tergolong rendah. Contoh : siswa yang telah dites kecerdasannya dan menunjukkan tingkat kecerdasan tergolong sangat unggul (IQ = 130 – 140), namun prestasi belajarnya biasa-biasa saja atau malah sangat rendah.
Slow Learner atau lambat belajar adalah siswa yang lambat dalam proses belajar, sehingga ia membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan sekelompok siswa lain yang memiliki taraf potensi intelektual yang sama.
Learning Disabilities atau ketidakmampuan belajar mengacu pada gejala dimana siswa tidak mampu belajar atau menghindari belajar, sehingga hasil belajar di bawah potensi intelektualnya.
Siswa yang mengalami kesulitan belajar seperti tergolong dalam pengertian di atas akan tampak dari berbagai gejala yang dimanifestasikan dalam perilakunya, baik aspek psikomotorik, kognitif, konatif maupun afektif . Beberapa perilaku yang merupakan manifestasi gejala kesulitan belajar, antara lain :
Menunjukkan hasil belajar yang rendah di bawah rata-rata nilai yang dicapai oleh kelompoknya atau di bawah potensi yang dimilikinya.
Hasil yang dicapai tidak seimbang dengan usaha yang telah dilakukan. Mungkin ada siswa yang sudah berusaha giat belajar, tapi nilai yang diperolehnya selalu rendah
Lambat dalam melakukan tugas-tugas kegiatan belajarnya dan selalu tertinggal dari kawan-kawannya dari waktu yang disediakan.
Menunjukkan sikap-sikap yang tidak wajar, seperti: acuh tak acuh, menentang, berpura-pura, dusta dan sebagainya.
Menunjukkan perilaku yang berkelainan, seperti membolos, datang terlambat, tidak mengerjakan pekerjaan rumah, mengganggu di dalam atau pun di luar kelas, tidak mau mencatat pelajaran, tidak teratur dalam kegiatan belajar, dan sebagainya.
Menunjukkan gejala emosional yang kurang wajar, seperti : pemurung, mudah tersinggung, pemarah, tidak atau kurang gembira dalam menghadapi situasi tertentu. Misalnya dalam menghadapi nilai rendah, tidak menunjukkan perasaan sedih atau menyesal, dan sebagainya.
Sementara itu, Burton (Abin Syamsuddin. 2003) mengidentifikasi siswa yang diduga mengalami kesulitan belajar, yang ditunjukkan oleh adanya kegagalan siswa dalam mencapai tujuan-tujuan belajar. Menurut dia bahwa siswa dikatakan gagal dalam belajar apabila :
Dalam batas waktu tertentu yang bersangkutan tidak mencapai ukuran tingkat keberhasilan atau tingkat penguasaan materi (mastery level) minimal dalam pelajaran tertentu yang telah ditetapkan oleh guru (criterion reference).
Tidak dapat mengerjakan atau mencapai prestasi semestinya, dilihat berdasarkan ukuran tingkat kemampuan, bakat, atau kecerdasan yang dimilikinya. Siswa ini dapat digolongkan ke dalam under achiever.
Tidak berhasil tingkat penguasaan materi (mastery level) yang diperlukan sebagai prasyarat bagi kelanjutan tingkat pelajaran berikutnya. Siswa ini dapat digolongkan ke dalam slow learner atau belum matang (immature), sehingga harus menjadi pengulang (repeater)
Untuk dapat menetapkan gejala kesulitan belajar dan menandai siswa yang mengalami kesulitan belajar, maka diperlukan kriteria sebagai batas atau patokan, sehingga dengan kriteria ini dapat ditetapkan batas dimana siswa dapat diperkirakan mengalami kesulitan belajar. Terdapat empat ukuran dapat menentukan kegagalan atau kemajuan belajar siswa : (1) tujuan pendidikan; (2) kedudukan dalam kelompok; (3) tingkat pencapaian hasil belajar dibandinngkan dengan potensi; dan (4) kepribadian.
1. Tujuan pendidikan
Dalam keseluruhan sistem pendidikan, tujuan pendidikan merupakan salah satu komponen pendidikan yang penting, karena akan memberikan arah proses kegiatan pendidikan. Segenap kegiatan pendidikan atau kegiatan pembelajaran diarahkan guna mencapai tujuan pembelajaran. Siswa yang dapat mencapai target tujuan-tujuan tersebut dapat dianggap sebagai siswa yang berhasil. Sedangkan, apabila siswa tidak mampu mencapai tujuan-tujuan tersebut dapat dikatakan mengalami kesulitan belajar. Untuk menandai mereka yang mendapat hambatan pencapaian tujuan pembelajaran, maka sebelum proses belajar dimulai, tujuan harus dirumuskan secara jelas dan operasional. Selanjutnya, hasil belajar yang dicapai dijadikan sebagai tingkat pencapaian tujuan tersebut. Secara statistik, berdasarkan distribusi normal, seseorang dikatakan berhasil jika siswa telah dapat menguasai sekurang-kurangnya 60% dari seluruh tujuan yang harus dicapai. Namun jika menggunakan konsep pembelajaran tuntas (mastery learning) dengan menggunakan penilaian acuan patokan, seseorang dikatakan telah berhasil dalam belajar apabila telah menguasai standar minimal ketuntasan yang telah ditentukan sebelumnya atau sekarang lazim disebut Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Sebaliknya, jika penguasaan ketuntasan di bawah kriteria minimal maka siswa tersebut dikatakan mengalami kegagalan dalam belajar. Teknik yang dapat digunakan ialah dengan cara menganalisis prestasi belajar dalam bentuk nilai hasil belajar.
2. Kedudukan dalam Kelompok
Kedudukan seorang siswa dalam kelompoknya akan menjadi ukuran dalam pencapaian hasil belajarnya. Siswa dikatakan mengalami kesulitan belajar, apabila memperoleh prestasi belajar di bawah prestasi rata-rata kelompok secara keseluruhan. Misalnya, rata-rata prestasi belajar kelompok 8, siswa yang mendapat nilai di bawah angka 8, diperkirakan mengalami kesulitan belajar. Dengan demikian, nilai yang dicapai seorang akan memberikan arti yang lebih jelas setelah dibandingkan dengan prestasi yang lain dalam kelompoknya. Dengan norma ini, guru akan dapat menandai siswa-siswa yang diperkirakan mendapat kesulitan belajar, yaitu siswa yang mendapat prestasi di bawah prestasi kelompok secara keseluruhan.
Secara statistik, mereka yang diperkirakan mengalami kesulitan adalah mereka yang menduduki 25 % di bawah urutan kelompok, yang biasa disebut dengan lower group. Dengan teknik ini, kita mengurutkan siswa berdasarkan nilai nilai yang dicapainya. dari yang paling tinggi hingga yang paling rendah, sehingga siswa mendapat nomor urut prestasi (ranking). Mereka yang menduduki posisi 25 % di bawah diperkirakan mengalami kesulitan belajar. Teknik lain ialah dengan membandingkan prestasi belajar setiap siswa dengan prestasi rata-rata kelompok. Siswa yang mendapat prestasi di bawah rata – rata kelompok diperkirakan pula mengalami kesulitan belajar.
3. Perbandingan antara potensi dan prestasi
Prestasi belajar yang dicapai seorang siswa akan tergantung dari tingkat potensinya, baik yang berupa kecerdasan maupun bakat. Siswa yang berpotensi tinggi cenderung dan seyogyanya dapat memperoleh prestasi belajar yang tinggi pula. Sebaliknya, siswa yang memiliki potensi yang rendah cenderung untuk memperoleh prestasi belajar yang rendah pula. Dengan membandingkan antara potensi dengan prestasi belajar yang dicapainya kita dapat memperkirakan sampai sejauhmana dapat merealisasikan potensi yang dimikinya. Siswa dikatakan mengalami kesulitan belajar, apabila prestasi yang dicapainya tidak sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Misalkan, seorang siswa setelah mengikuti pemeriksaan psikologis diketahui memiliki tingkat kecerdasan (IQ) sebesar 120, termasuk kategori cerdas dalam skala Simon & Binnet. Namun ternyata hasil belajarnya hanya mendapat nilai angka 6, yang seharusnya dengan tingkat kecerdasan yang dimikinya dia paling tidak dia bisa memperoleh angka 8. Contoh di atas menggambarkan adanya gejala kesulitan belajar, yang biasa disebut dengan istilah underachiever.
4. Kepribadian
Hasil belajar yang dicapai oleh seseorang akan tercerminkan dalam seluruh kepribadiannya. Setiap proses belajar akan menghasilkan perubahan-perubahan dalam aspek kepribadian. Siswa yang berhasil dalam belajar akan menunjukkan pola-pola kepribadian tertentu, sesuai dengan tujuan yang tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Siswa diakatan mengalami kesulitan belajar, apabila menunjukkan pola-pola perilaku atau kepribadian yang menyimpang dari seharusnya, seperti : acuh tak acuh, melalaikan tugas, sering membolos, menentang, isolated, motivasi lemah, emosi yang tidak seimbang dan sebagainya.
B. Bimbingan Belajar
Bimbingan belajar merupakan upaya guru untuk membantu siswa yang mengalami kesulitan dalam belajarnya. Secara umum, prosedur bimbingan belajar dapat ditempuh melalui langkah-langkah sebagai berikut
1. Identifikasi kasus
Identifikasi kasus merupakan upaya untuk menemukan siswa yang diduga memerlukan layanan bimbingan belajar. Robinson dalam Abin Syamsuddin Makmun (2003) memberikan beberapa pendekatan yang dapat dilakukan untuk mendeteksi siswa yang diduga mebutuhkan layanan bimbingan belajar, yakni :
Call them approach; melakukan wawancara dengan memanggil semua siswa secara bergiliran sehingga dengan cara ini akan dapat ditemukan siswa yang benar-benar membutuhkan layanan bimbingan.
Maintain good relationship; menciptakan hubungan yang baik, penuh keakraban sehingga tidak terjadi jurang pemisah antara guru dengan siswa. Hal ini dapat dilaksanakan melalui berbagai cara yang tidak hanya terbatas pada hubungan kegiatan belajar mengajar saja, misalnya melalui kegiatan ekstra kurikuler, rekreasi dan situasi-situasi informal lainnya.
Developing a desire for counseling; menciptakan suasana yang menimbulkan ke arah penyadaran siswa akan masalah yang dihadapinya. Misalnya dengan cara mendiskusikan dengan siswa yang bersangkutan tentang hasil dari suatu tes, seperti tes inteligensi, tes bakat, dan hasil pengukuran lainnya untuk dianalisis bersama serta diupayakan berbagai tindak lanjutnya.
Melakukan analisis terhadap hasil belajar siswa, dengan cara ini bisa diketahui tingkat dan jenis kesulitan atau kegagalan belajar yang dihadapi siswa.
Melakukan analisis sosiometris, dengan cara ini dapat ditemukan siswa yang diduga mengalami kesulitan penyesuaian sosial

2. Identifikasi Masalah
Langkah ini merupakan upaya untuk memahami jenis, karakteristik kesulitan atau masalah yang dihadapi siswa. Dalam konteks Proses Belajar Mengajar, permasalahan siswa dapat berkenaan dengan aspek : (a) substansial – material; (b) struktural – fungsional; (c) behavioral; dan atau (d) personality. Untuk mengidentifikasi masalah siswa, Prayitno dkk. telah mengembangkan suatu instrumen untuk melacak masalah siswa, dengan apa yang disebut Alat Ungkap Masalah (AUM). Instrumen ini sangat membantu untuk mendeteksi lokasi kesulitan yang dihadapi siswa, seputar aspek : (a) jasmani dan kesehatan; (b) diri pribadi; (c) hubungan sosial; (d) ekonomi dan keuangan; (e) karier dan pekerjaan; (f) pendidikan dan pelajaran; (g) agama, nilai dan moral; (h) hubungan muda-mudi; (i) keadaan dan hubungan keluarga; dan (j) waktu senggang.
3. Diagnosis
Diagnosis merupakan upaya untuk menemukan faktor-faktor penyebab atau yang melatarbelakangi timbulnya masalah siswa. Dalam konteks Proses Belajar Mengajar faktor-faktor yang penyebab kegagalan belajar siswa, bisa dilihat dari segi input, proses, ataupun out put belajarnya. W.H. Burton membagi ke dalam dua bagian faktor – faktor yang mungkin dapat menimbulkan kesulitan atau kegagalan belajar siswa, yaitu : (a) faktor internal; faktor yang besumber dari dalam diri siswa itu sendiri, seperti : kondisi jasmani dan kesehatan, kecerdasan, bakat, kepribadian, emosi, sikap serta kondisi-kondisi psikis lainnya; dan (b) faktor eksternal, seperti : lingkungan rumah, lingkungan sekolah termasuk didalamnya faktor guru dan lingkungan sosial dan sejenisnya.
4. Prognosis
Langkah ini untuk memperkirakan apakah masalah yang dialami siswa masih mungkin untuk diatasi serta menentukan berbagai alternatif pemecahannya, Hal ini dilakukan dengan cara mengintegrasikan dan menginterpretasikan hasil-hasil langkah kedua dan ketiga. Proses mengambil keputusan pada tahap ini seyogyanya terlebih dahulu dilaksanakan konferensi kasus, dengan melibatkan pihak-pihak yang kompeten untuk diminta bekerja sama menangani kasus - kasus yang dihadapi.

5. Remedial atau referal (Alih Tangan Kasus)
Jika jenis dan sifat serta sumber permasalahannya masih berkaitan dengan sistem pembelajaran dan masih masih berada dalam kesanggupan dan kemampuan guru atau guru pembimbing, pemberian bantuan bimbingan dapat dilakukan oleh guru atau guru pembimbing itu sendiri. Namun, jika permasalahannya menyangkut aspek-aspek kepribadian yang lebih mendalam dan lebih luas maka selayaknya tugas guru atau guru pembimbing sebatas hanya membuat rekomendasi kepada ahli yang lebih kompeten.
6. Evaluasi dan Follow Up
Cara manapun yang ditempuh, evaluasi atas usaha pemecahan masalah seyogyanya dilakukan evaluasi dan tindak lanjut, untuk melihat seberapa pengaruh tindakan bantuan (treatment) yang telah diberikan terhadap pemecahan masalah yang dihadapi siswa.
Berkenaan dengan evaluasi bimbingan, Depdiknas telah memberikan kriteria-kriteria keberhasilan layanan bimbingan belajar, yaitu :
Berkembangnya pemahaman baru yang diperoleh siswa berkaitan dengan masalah yang dibahas;
Perasaan positif sebagai dampak dari proses dan materi yang dibawakan melalui layanan, dan
Rencana kegiatan yang akan dilaksanakan oleh siswa sesudah pelaksanaan layanan dalam rangka mewujudkan upaya lebih lanjut pengentasan masalah yang dialaminya.
Sementara itu, Robinson dalam Abin Syamsuddin Makmun (2003) mengemukakan beberapa kriteria dari keberhasilan dan efektivitas layanan yang telah diberikan, yaitu apabila:
Siswa telah menyadari (to be aware of) atas adanya masalah yang dihadapi.
Siswa telah memahami (self insight) permasalahan yang dihadapi.
Siswa telah mulai menunjukkan kesediaan untuk menerima kenyataan diri dan masalahnya secara obyektif (self acceptance).
Siswa telah menurun ketegangan emosinya (emotion stress release).
Siswa telah menurun penentangan terhadap lingkungannya
Siswa mulai menunjukkan kemampuannya dalam mempertimbangkan, mengadakan pilihan dan mengambil keputusan secara sehat dan rasional.
Siswa telah menunjukkan kemampuan melakukan usaha –usaha perbaikan dan penyesuaian diri terhadap lingkungannya, sesuai dengan dasar pertimbangan dan keputusan yang telah diambilnya
Sumber bacaan :
Abin Syamsuddin, (2003), Psikologi Pendidikan, Bandung : PT Remaja Rosda Karya
Prayitno dan Erman Anti, (1995), Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling, Jakarta : P2LPTK Depdikbud
Prayitno (2003), Panduan Bimbingan dan Konseling, Jakarta : Depdikbud Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah
Seri Pemandu Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling di Sekolah,(1995), Pelayanan Bimbingan dan Konseling di Sekolah Menengah Umum (SMU) Buku IV, Jakarta : IPBI
Winkel, W.S. (1991), Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan, Jakarta : Gramedia

Senin, 25 Mei 2009

MENGAPA MBS PERLU DIPERKENALKAN SECARA LUAS

Manajemen Berbasis Sekolah ( MBS ) atau School Based Management ( SBM ) bukan sesuatu yang asli Indonesia meskipun esensi tertentu sebenarnya sudah berada ( eksis ) di Indonesia sejak sebelum Indonesia merdeka. Hal ini terbukti dengan adanya berbagai lembaga pendidikan swasta ( swadaya masyarakat ), bahkan sebagian besar berbentuk lembaga pendidikan " tradisional " yang berlandaskan agama maupun budaya.
Sebagian konsep, MBS telah diterapkan di beberapa negara maju. Sebagai model manajemen yang terkait dengan sistem pendidikan setempat ( negara yang bersangkutan ), tidak satupun negara yang menerapkan model yang sama dengan negara lain. Demikian juga penerapannya di Indonesia, sangat terkait dengan sistem pemerintahan ( yang baru mengalami perubahan besar dan implementasinya masih terus berkembang ). Sistem pendidikan, kebijakan yang mendukung, serta pengalaman masa lalu dan pengalaman negara lain yang dapat dijadikan guru juga ikut terkait.
Tidak kalah pentingnya adalah suasana masyarakat ( semua pihak ) yang menghendaki desentralisasi ( otonomi ), transparansi, demokratisasi, akuntabilitas (pertanggung jawaban), serta dorongan peningkatan peran masyarakat dalam hampir semua kebijakan dan layanan publik, termasuk pendidikan.
Diperkenalkannya MBS di Indonesia cukup mendapat respon/tanggapan yang positip meskipun banyak terjadi pro dan kontra baik secara terus terang maupun secara diam-diam.Bagi yang antusias menerima, mereka ingin segera memperoleh kepastian, ingin memperoleh pedoman, petunjuk, bahkan menuntut adanya definisi/batasan pengertian yang pasti.Di satu sisi, hal ini tentu menggembirakan (dari segi keberhasilan sosialisasi inovasi), tetapi disisi lain tergambar kebiasaan-kebiasaan lama, yaitu keseragaman pola kerja, ketergantungan kepada petunjuk dan kurang adanya kesadaran akan potensi diri dan lingkungan yang dimiliki. Selain itu ada yang pesimis bahkan sinis terhadap perubahan yang diperkenalkan dengan alasan barang "impor", apalagi yang akan diperkenalkan untuk membuat pusing sekolah ( untuk sekolah-sekolah tertentu ), sementara di negara asalnya (menurut pendangan yang bersangkutan, penulis ) sudah ditinggalkan karena dianggap tidak menghasilkan apa-apa.
Keberhasilan pengenalan MBS di Indonesia (sungguhpun secara bertahap atau incrementa) tidak lepas dari kondisi objektif yang mendukung pada saat yang tepat. Elemen-elemen yang mendukung tersebut, antara lain iklim perubahan pemerintahan yang menghendaki transparansi, demokratisasi, akuntabilitas, desentralisasi dan pemberdayaan potensi masyarakat, konsepsi manajemen pendidikan yang tyelah lama dipendam oleh para tokoh pendidikan untuk diaktualisasikan serta sebagian birokrat yang secara diam-diam konsisten ingin melakukan reform tanpa banyak publikasi.
Landasan Hukum yang kuat untuk dikeluarkannya atau diterapkannya Manajemen Berbasis Sekolah atau School Based Management dan Pendidikan Berbasis Masyarakat atau Community Based Education. yaitu :
  1. UU No. 22 tahun 1999 tentang pemerintah Daerah
  2. PP No. 25 tahun 2000 tentang kewenangan Pemerintah dan kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonomi
  3. UU No. 25 Tahun 2005 tentang Propenas
  4. Kepmendiknas No. 122/U/2001 tentang Rencana Strategis Pembangunan pendidikan, pemuda, dan olah raga tahun 2000-2004
  5. UU Sisdiknas tahun 2003
Gagasan-gagasan berdasarkan hasil studi, baik di luar maupun di dalam negeri, tentang sekolah yang efektif yang hanya mungkin direalisasikan kalau MBS diterapkan, serta memperoleh peluang dalam suasana reformasi di bidang pendidikan dengan tema otonomi pedagogis sehingga turut mendorong diperkenalkannya MBS di Indonesia.
Sementara ini, kalangan birokrat pendidikan yang berpikiran jernih melihat peluang ini sebagai harapan baru untuk melakukan efisiensi manajemen pendidikan dan sekaligus upaya peningkatan mutu. Hal ini karena sekolah ( dengan perluasan kewenangannya ) melalui MBS didorong untuk kompetitif dalam berbgai hal (termasuk mutu) dengan melibatkan peran serta masyarakat stakeholders utama dalam mempertanggungjawabkan hasil pendidikannya.
Mempertimbangkan hal itu, model MBS di Indonesia diperkenalkan dengan pendekatan fleksibel dan menyesuaikan diri dengan konteks Indonesia serta dirintis dengan nama Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS)

Rabu, 20 Mei 2009

PEMANFAATAN BARANG BEKAS, BAHAN, DAN PERALATAN SEDERHANA SEBAGAI MEDIA PEMBELAJARAN

A. PENDAHULUAN
Pemanfaatan barang bekas dan peralatan sederhana sebagai media pembelajaran bukanlah hal yang baru dalam dunia pendidikan. Sebelum media pendidikan modern hadir, para guru telah menggunakan berbagai media dan alat peraga buatannya sendiri untuk menjelaskan materi pelajarannya. Para guru zaman dulu mungkin lebih banyak memiliki kreativitas karena dipaksa oleh keadaan yang masih terbatas.Mereka harus bekerja keras setiap saat supaya siswanya bisa belajar dan menyerap materi pelajaran semaksimal mungkin.
Dengan datangnya media bertehnologi modern memnyebabkan berbagai masalah yang selama puluhan tahun tidak bisa dipecahkan telah mampu dipecahkan dan memungkinkan mata ajaran apapun diajarkan dan dijelsakan sebaik-baiknya. Namun banyak para guru di kota-kota besar yang telah terlena dengan kemajuan tehnologi yang digunakan dalam dunia pendidikan. Media modern telah memudahkan mereka memecahkan berbagai masalah di dalam proses belajar mengajar. Ketika dalam keadaan tertentu mereka harus jauh dari media tersebut, mereka menjadi bingung karena ketergantungan kepada media modern. Mereka telah melupakan media yang dibuat dan dikembangkan dari bahan-bahan sederhana di sekitar mereka. Akibatnya mereka menjadi kurang peka terhadap potensi di sekitar lingkungan mereka.
Media modern juga telah turut serta mematikan kreativitas guru dan siswanya. Media modern hampir dapat dipastikan telah menutup kemungkinan mereka untuk mengembangkan media bagi kepentingan mereka sendiri. Media modern telah menjadikan mereka pasif dan kurang kreatif.
B. TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan penulisan materi ini adalah sebagai berikut :
1. Menggugah para guru bahwa media sederhana dari barang bekas dan peralatan sederhana tetap dibutuhkan dan dapat berfungsi efektif, tidak kalah dengan media modern.
2. Membuka ruang dan memberikan peluang para guru untuk menjadi bagian dari ( kelompok ) masyarakat yang terlibat dalam proses pembelajaran secara aktif kreatif
3. Membangun dunia pendidikan yang lebih baik
4. Membangun kesadaran akan pentingnya lingkungan sekitar untuk dijadikan media terbaik bagi pendidikan.
C. MANFAAT BARANG BEKAS, BAHAN, PERLATAN SEDERHANA SEBAGAI MEDIA PEMBELAJARAN
Berdasarkan kesadaran tentang pentingnya media sederhana yang terbuat dari bahan bekas yang terdapat di sekitar lingkungan guru dan siswa, kita dapat mencatat tiga manfaat pembuatan media sederhana yang terkait satu dengan yang lainnya :
1. Membangun komunitas berbasis pendidikan kreatif. Dalam hal ini melibatkan para siswa sedini mungkin dalam pengembangan dan penggunaan media sederhana dari barang bekas dan perlatan sederhana untuk mengembangkan kemampuan berimajinasi, serta mengembangkan ketrampilannya sesuai dengan usia dan mata ajaran yang dipelajarinya. Disamping itu juga bisa memberikan kesempatan kepada pesrta didik untuk melakukan eksplorasi di berbagai bidang yang menyangkut pengetahuan, minat dan bakat melalui pengembangan media sederhana yang dibuatnya.
2. Mengembangkan berbagai alternatif media sederhana yang kreatif dan berkesinambungan sehingga mampu membantu anak-anak didik tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang kritis, kreatif, mandiri ( otonom ) dan peduli terhadap orang lain dan lingkungannya.
3. Mengembangkan jaringan kerja ( network ) para guru dan pendidik untuk menggalang kerjasama dalam upaya mengembangkan berbagai media alternatif yang kreatif, sederhana dan murah sebagai gerakan guru mandiri yang peduli lingkungan sekitar sekolah dan masyarakat.
Berdasarkan tiga manfaat di atas, maka diharapkan guru untuk mengembangkan suatu media sederhana, mudah digunakan, dan bisa dibuat oleh siswa sendiri. Media tersebut juga harus merupakan perangkat komunikasi bagi guru dengan siswanya. Melalui media yang dikembangkan, para siswa belajar berkomunikasi dengan lingkungannya, lingkungan sosialnya serta dengan dirinya sendiri. Melalui media itu pula mereka belajar mengerti dan memahami lingkungan alam dan sekitarnya, mengerti dan memahami interaksi sosial dengan orang-orang disekitarnya, dan mampu mengembangkan fantasi, daya imajinasi, dan kreativitasnya. Cara belajar seperti ini berarti menerapkan Integrated Learning dengan pendekatan prinsip belajar sambil bekerja dan bermain, sesuai dengan kematangan dan perkembangan fisik dan psikologis anak, dan disajikan secara atraktif, kreatif, aman, dan menyenangkan.
Disamping itu pula dalam hal mengembangkan media pembelajaran yang berupa barang bekas dan sederhana dalam dunia pendidikan perlu mendapat dukungan dari orang tua siswa untuk memaksimalkan akan mafaat dari barang bekas dan sederhana tersebut.
Media pembelajaran yang digunakan oleh guru pada intinya adalah memberikan kemudahan dalam menyampaikan materi pelajaran kepada siswa. Hal itu berarti media yang kita gunakan adalah untuk kepentingan siswa.

Senin, 08 September 2008

MEMBERSIHKAN HATI DENGAN BERZIKIR

Oleh : R. AMIR WAZID, S.Pd

Bila Kita ingin makin mendekatkan diri kepada Allah, berzikirlah dan memperbanyak ibadah. Insya Allah hati kita semakin bersih dan akan memantulkan kebenaran, akan menjadi kongkrit untuk diamalkan dalam kehidupan pribadi muslim

Marilah kita berzikir dan bertobat dengan mengumandangkan doa kepada Allah SWT. Dengan kerendahan hati, kita memohon ampun atas lupa dan salah. Kumandang tasbih, tahmid, tahlil, dan takbir selalu bergema di hati kita. Tua, muda, miskin, kaya, laki-laki, perempuan, serentak berserah diri dan mengagungkan asma Allah.
Tiada kebahagiaan dalam hidup ini kecuali selalu dalam tatapan-Nya (ma’iyatullah). Inilah zikir kalbu. Ma’iyatullah membuat diri sebagai ”aktor” .yang terbaik di muka bumi.
Hati yang selalu terpaut pada-Nya dan terjaga hanya mencari nilai dari-Nya sebagai buah dari ihsan. Sehingga setiap gerak, napas, dan langkah hanya memburu rida-Nya. Sampai saat ini masih babnyak umat muslim yang belum paham terhadap hakikat zikir. Itulah sebabnya, zikir sering dikerjakan tanpa kesungguhan. Itu merupakan pekerjaan yang sia-sia. Secara harfiah, zikir berarti ingat dan sebut, Ingat adalah gerak hati, sedangkan sebut adalah gerak lisan. Zikrullah berarti mengingat dan menyebut Allah. Perpaduan dari keduanya merupakan makna awal dari khusyuk.

KEKUATAN HATI

Zikir terdiri atas empat bagian yang saling terikat dan tidak terpisahkan, yaitu zikir lisan (ucapan), zikir kalbu(merasakankehadiran Allah), zikir aql (menangkap bahasa Allah di balik setiap gerak alam), dan zikir amal ( takwa : patuh dan taat terhadap

Perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya). Idealnya, zikir berangkat dari kekuatan hati, ditangkap oleh akal dan dibuktikan dengan ketakwaan dan amal nyata di dunia ini.
Dalam Q.S. Al-A’raf ayat 96, dijelaskan : ”Jikalau sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.”
Penggalan kalimat pertama ayat itu menyatakan jika para penduduk suatu negeri beriman dan bertakwa, maka Allah akan menurunkan keberkahan dari langit dan bumi. Karena itu, mari kita menyucikan jiwa dan hati sehingga iman akan menancap di dalam dada kita, dan takwa akan menghiasi perilakunya. Jika itu terwujud, maka derita Bangsa Indonesia akan segera hilang. Lebih dari itu, Islam yang secara konsep sangat tinggi dan mulia bakal tercermin dalam pribadi setiap muslim

MENGINGAT ALLAH

Moment berzikir ini sungguh menghentakkan kesadaran kita semua. Mari kita renungkan perjalanan hidup kita, sambil mohon ampun sebanyak-banyaknya kepada Allah SWT.
Bila kuta semakin mendekatkan diri kita dengan cara berzikir dan memperbanyak ibadah, Insya Allah akan menjadikan hati kita akan bertambah bersih dan akan memantulkan kebenaran, akan menjadi kongkrit untuk diamalkan dalam kehidupan pribadi muslim.
Tuhan kita menciptakan dunia beserta segala isinya dari unsur tanah, dan itu berarti senyawa dengan tubuh kita karena sama – sama terbuat dari tanah. Karenanya, untuk memenuhi kebutuhan tubuh kita tidaklah cukup dengan berzikir, tetapi harus dipenuhi dengan aneka perangkat dan makanan yang sumbernya dari tanah pula.
Bila perut kita terasa lapar, maka kita santap beraneka makanan yang sumbernya ternyata dari tanah. Demikian pula bila suatu ketika kita sakit, maka carilah obat-obatan yang juga diolah dari komponen yang berasal dari tanah.
Akan tetapi, kalbu ini ternyata tidak satu senyawa dengan unsur-unsur tanah sehingga ia akan terpuaskan lapar, dahaga, sakit, serta kebersihannya semata-mata dengan mengingat Allah. Karena dengan mengingat Allah hati akan tenang, sebagaimana dalam Q.S.Ar-Ra’du ayat 28 :”.... Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati kita menjadi tenang”.

Kamis, 04 September 2008

PERAN KEPALA SEKOLAH DALAM UPAYA PENINGKATAN KOMPETENSI GURU UNTUK MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN

PERAN KEPALA SEKOLAH DALAM UPAYA PENINGKATAN KOMPETENSI GURU UNTUK MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN
OLEH : R. Amir Wazid, S.Pd
Abstrak :
Dalam upaya meningkatan mutu pendidikan, kompetensi guru merupakan salah satu faktor yang amat penting. Kompetensi guru tersebut meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi personal, kompetensi sosial dan kompetensi profesional. Upaya untuk meningkatkan kompetensi guru dapat dilakukan melalui optimalisasi peran kepala stsekolah, sebagai : educator, manajer, administrator, supervisor, leader, pencipta iklim kerja dan wirausahawan.Kata kunci : kompetensi guru, peran kepala sekolah
A. Pendahuluan
Dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan nasional, pemerintah khususnya melalui Depdiknas terus menerus berupaya melakukan berbagai perubahan dan pembaharuan sistem pendidikan kita. Salah satu upaya yang sudah dan sedang dilakukan, yaitu berkaitan dengan faktor guru.
Lahirnya Undang-Undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, pada dasarnya merupakan kebijakan pemerintah yang didalamnya memuat usaha pemerintah untuk menata dan memperbaiki mutu guru di Indonesia. Michael G. Fullan yang dikutip oleh Suyanto dan Djihad Hisyam (2000) mengemukakan bahwa “educational change depends on what teachers do and think…”. Pendapat tersebut mengisyaratkan bahwa perubahan dan pembaharuan sistem pendidikan sangat bergantung pada “what teachers do and think “. atau dengan kata lain bergantung pada penguasaan kompetensi guru.


Permasalahan :
Jika kita amati lebih jauh tentang realita kompetensi guru saat ini agaknya masih beragam. Sudarwan Danim (2002) mengungkapkan bahwa salah satu ciri krisis pendidikan di Indonesia adalah guru belum mampu menunjukkan kinerja (work performance) yang memadai. Hal ini menunjukkan bahwa kinerja guru belum sepenuhnya ditopang oleh derajat penguasaan kompetensi yang memadai, oleh karena itu perlu adanya upaya yang komprehensif guna meningkatkan kompetensi guru.
Tujuan :
Tulisan ini akan memaparkan tentang apa itu kompetensi guru dan bagaimana upaya-upaya untuk meningkatkan kompetensi guru dilihat dari peran kepala sekolah. Dengan harapan kiranya tulisan ini dapat dijadikan sebagai bahan refleksi bagi para guru maupun pihak-pihak lain yang berkepentingan dengan pendidikan.
B. Hakekat Kompetensi Guru
Apa yang dimaksud dengan kompetensi itu ? Louise Moqvist (2003) mengemukakan bahwa “competency has been defined in the light of actual circumstances relating to the individual and work. Sementara itu, dari Trainning Agency sebagaimana disampaikan Len Holmes (1992) menyebutkan bahwa : ” A competence is a description of something which a person who works in a given occupational area should be able to do. It is a description of an action, behaviour or outcome which a person should be able to demonstrate.”
Dari kedua pendapat di atas kita dapat menarik benang merah bahwa kompetensi pada dasarnya merupakan gambaran tentang apa yang seyogyanya dapat dilakukan (be able to do) seseorang dalam suatu pekerjaan, berupa kegiatan, perilaku dan hasil yang seyogyanya dapat ditampilkan atau ditunjukkan.
Agar dapat melakukan (be able to do) sesuatu dalam pekerjaannya, tentu saja seseorang harus memiliki kemampuan (ability) dalam bentuk pengetahuan (knowledge), sikap (attitude) dan keterampilan (skill) yang sesuai dengan bidang pekerjaannya.
Mengacu pada pengertian kompetensi di atas, maka dalam hal ini kompetensi guru dapat dimaknai sebagai gambaran tentang apa yang seyogyanya dapat dilakukan seseorang guru dalam melaksanakan pekerjaannya, baik berupa kegiatan, berperilaku maupun hasil yang dapat ditunjukkan..
Lebih jauh, Raka Joni sebagaimana dikutip oleh Suyanto dan Djihad Hisyam (2000) mengemukakan tiga jenis kompetensi guru, yaitu :
Kompetensi profesional; memiliki pengetahuan yang luas dari bidang studi yang diajarkannya, memilih dan menggunakan berbagai metode mengajar di dalam proses belajar mengajar yang diselenggarakannya.
Kompetensi kemasyarakatan; mampu berkomunikasi, baik dengan siswa, sesama guru, maupun masyarakat luas.
Kompetensi personal; yaitu memiliki kepribadian yang mantap dan patut diteladani. Dengan demikian, seorang guru akan mampu menjadi seorang pemimpin yang menjalankan peran : ing ngarso sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani
Sementara itu, dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional, pemerintah telah merumuskan empat jenis kompetensi guru sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Peraturan Pemerintah No 14 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, yaitu :
Kompetensi pedagogik yaitu merupakan kemampuan dalam pengelolaan peserta didik yang meliputi: (a) pemahaman wawasan atau landasan kependidikan; (b) pemahaman terhadap peserta didik; (c)pengembangan kurikulum/ silabus; (d) perancangan pembelajaran; (e) pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis; (f) evaluasi hasil belajar; dan (g) pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
Kompetensi kepribadian yaitu merupakan kemampuan kepribadian yang: (a) mantap; (b) stabil; (c) dewasa; (d) arif dan bijaksana; (e) berwibawa; (f) berakhlak mulia; (g) menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat; (h) mengevaluasi kinerja sendiri; dan (i) mengembangkan diri secara berkelanjutan.
Kompetensi sosial yaitu merupakan kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk : (a) berkomunikasi lisan dan tulisan; (b) menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional; (c) bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali peserta didik; dan (d) bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar.
Kompetensi profesional merupakan kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang meliputi: (a) konsep, struktur, dan metoda keilmuan/teknologi/seni yang menaungi/koheren dengan materi ajar; (b) materi ajar yang ada dalam kurikulum sekolah; (c) hubungan konsep antar mata pelajaran terkait; (d) penerapan konsep-konsep keilmuan dalam kehidupan sehari-hari; dan (e) kompetisi secara profesional dalam konteks global dengan tetap melestarikan nilai dan budaya nasional.
Sebagai pembanding, dari National Board for Profesional Teaching Skill (2002) telah merumuskan standar kompetensi bagi guru di Amerika, yang menjadi dasar bagi guru untuk mendapatkan sertifikasi guru, dengan rumusan What Teachers Should Know and Be Able to Do, didalamnya terdiri dari lima proposisi utama, yaitu:
Teachers are Committed to Students and Their Learning yang mencakup :
(a) penghargaan guru terhadap perbedaan individual siswa,
(b) pemahaman guru tentang perkembangan belajar siswa,
(c) perlakuan guru terhadap seluruh siswa secara adil,
(d) misi guru dalam memperluas cakrawala berfikir siswa.
Teachers Know the Subjects They Teach and How to Teach Those Subjects to Students mencakup :
(a) apresiasi guru tentang pemahaman materi mata pelajaran untuk dikreasikan, disusun dan dihubungkan dengan mata pelajaran lain,
(b) kemampuan guru untuk menyampaikan materi pelajaran
(c) mengembangkan usaha untuk memperoleh pengetahuan dengan berbagai cara (multiple path).
Teachers are Responsible for Managing and Monitoring Student Learning mencakup: (a) penggunaan berbagai metode dalam pencapaian tujuan pembelajaran,
(b) menyusun proses pembelajaran dalam berbagai setting kelompok (group setting), kemampuan untuk memberikan ganjaran (reward) atas keberhasilan siswa,
(c) menilai kemajuan siswa secara teratur, dan (d) kesadaran akan tujuan utama pembelajaran.
Teachers Think Systematically About Their Practice and Learn from Experience mencakup:
(a) Guru secara terus menerus menguji diri untuk memilih keputusan-keputusan terbaik,
(b) guru meminta saran dari pihak lain dan melakukan berbagai riset tentang pendidikan untuk meningkatkan praktek pembelajaran.
Teachers are Members of Learning Communities mencakup :
(a) guru memberikan kontribusi terhadap efektivitas sekolah melalui kolaborasi dengan kalangan profesional lainnya,
(b) guru bekerja sama dengan tua orang siswa, (c) guru dapat menarik keuntungan dari berbagai sumber daya masyarakat.
Secara esensial, ketiga pendapat di atas tidak menunjukkan adanya perbedaan yang prinsipil. Letak perbedaannya hanya pada cara pengelompokkannya. Isi rincian kompetensi pedagodik yang disampaikan oleh Depdiknas, menurut Raka Joni sudah teramu dalam kompetensi profesional. Sementara dari NBPTS tidak mengenal adanya pengelompokan jenis kompetensi, tetapi langsung memaparkan tentang aspek-aspek kemampuan yang seyogyanya dikuasai guru.
Sejalan dengan tantangan kehidupan global, peran dan tanggung jawab guru pada masa mendatang akan semakin kompleks, sehingga menuntut guru untuk senantiasa melakukan berbagai peningkatan dan penyesuaian penguasaan kompetensinya. Guru harus harus lebih dinamis dan kreatif dalam mengembangkan proses pembelajaran siswa. Guru di masa mendatang tidak lagi menjadi satu-satunya orang yang paling well informed terhadap berbagai informasi dan pengetahuan yang sedang berkembang dan berinteraksi dengan manusia di jagat raya ini. Di masa depan, guru bukan satu-satunya orang yang lebih pandai di tengah-tengah siswanya. Jika guru tidak memahami mekanisme dan pola penyebaran informasi yang demikian cepat, ia akan terpuruk secara profesional. Kalau hal ini terjadi, ia akan kehilangan kepercayaan baik dari siswa, orang tua maupun masyarakat. Untuk menghadapi tantangan profesionalitas tersebut, guru perlu berfikir secara antisipatif dan proaktif. Artinya, guru harus melakukan pembaruan ilmu dan pengetahuan yang dimilikinya secara terus menerus.
Disamping itu, guru masa depan harus paham penelitian guna mendukung terhadap efektivitas pembelajaran yang dilaksanakannya, sehingga dengan dukungan hasil penelitian guru tidak terjebak pada praktek pembelajaran yang menurut asumsi mereka sudah efektif, namum kenyataannya justru mematikan kreativitas para siswanya. Begitu juga, dengan dukungan hasil penelitian yang mutakhir memungkinkan guru untuk melakukan pembelajaran yang bervariasi dari tahun ke tahun, disesuaikan dengan konteks perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedang berlangsung.
C. Peranan Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Kompetensi Guru
Agar proses pendidikan dapat berjalan efektif dan efisien, guru dituntut memiliki kompetensi yang memadai, baik dari segi jenis maupun isinya. Namun, jika kita selami lebih dalam lagi tentang isi yang terkandung dari setiap jenis kompetensi, –sebagaimana disampaikan oleh para ahli maupun dalam perspektif kebijakan pemerintah-, kiranya untuk menjadi guru yang kompeten bukan sesuatu yang sederhana, untuk mewujudkan dan meningkatkan kompetensi guru diperlukan upaya yang sungguh-sungguh dan komprehensif.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melalui optimalisasi peran kepala sekolah. Idochi Anwar dan Yayat Hidayat Amir (2000) mengemukakan bahwa “ kepala sekolah sebagai pengelola memiliki tugas mengembangkan kinerja personel, terutama meningkatkan kompetensi profesional guru.” Perlu digarisbawahi bahwa yang dimaksud dengan kompetensi profesional di sini, tidak hanya berkaitan dengan penguasaan materi semata, tetapi mencakup seluruh jenis dan isi kandungan kompetensi sebagaimana telah dipaparkan di atas.
Dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional (Depdiknas, 2006), terdapat tujuh peran utama kepala sekolah yaitu, sebagai :
(1) educator (pendidik);
(2) manajer;
(3) administrator;
(4) supervisor (penyelia);
(5) leader (pemimpin);
(6) pencipta iklim kerja
(7) wirausahawan;
Merujuk kepada tujuh peran kepala sekolah sebagaimana disampaikan oleh Depdiknas di atas, di bawah ini akan diuraikan secara ringkas hubungan antara peran kepala sekolah dengan peningkatan kompetensi guru.
1. Kepala sekolah sebagai educator (pendidik)
Kegiatan belajar mengajar merupakan inti dari proses pendidikan dan guru merupakan pelaksana dan pengembang utama kurikulum di sekolah. Kepala sekolah yang menunjukkan komitmen tinggi dan fokus terhadap pengembangan kurikulum dan kegiatan belajar mengajar di sekolahnya tentu saja akan sangat memperhatikan tingkat kompetensi yang dimiliki gurunya, sekaligus juga akan senantiasa berusaha memfasilitasi dan mendorong agar para guru dapat secara terus menerus meningkatkan kompetensinya, sehingga kegiatan belajar mengajar dapat berjalan efektif dan efisien.2. Kepala sekolah sebagai manajer
Dalam mengelola tenaga kependidikan, salah satu tugas yang harus dilakukan kepala sekolah adalah melaksanakan kegiatan pemeliharaan dan pengembangan profesi para guru. Dalam hal ini, kepala sekolah seyogyanya dapat memfasiltasi dan memberikan kesempatan yang luas kepada para guru untuk dapat melaksanakan kegiatan pengembangan profesi melalui berbagai kegiatan pendidikan dan pelatihan, baik yang dilaksanakan di sekolah, –seperti : MGMP/MGP tingkat sekolah, in house training, diskusi profesional dan sebagainya–, atau melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan di luar sekolah, seperti : kesempatan melanjutkan pendidikan atau mengikuti berbagai kegiatan pelatihan yang diselenggarakan pihak lain.
3. Kepala sekolah sebagai administrator
Khususnya berkenaan dengan pengelolaan keuangan, bahwa untuk tercapainya peningkatan kompetensi guru tidak lepas dari faktor biaya. Seberapa besar sekolah dapat mengalokasikan anggaran peningkatan kompetensi guru tentunya akan mempengaruhi terhadap tingkat kompetensi para gurunya. Oleh karena itu kepala sekolah seyogyanya dapat mengalokasikan anggaran yang memadai bagi upaya peningkatan kompetensi guru.4. Kepala sekolah sebagai supervisor
Untuk mengetahui sejauh mana guru mampu melaksanakan pembelajaran, secara berkala kepala sekolah perlu melaksanakan kegiatan supervisi, yang dapat dilakukan melalui kegiatan kunjungan kelas untuk mengamati proses pembelajaran secara langsung, terutama dalam pemilihan dan penggunaan metode, media yang digunakan dan keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran (E. Mulyasa, 2004). Dari hasil supervisi ini, dapat diketahui kelemahan sekaligus keunggulan guru dalam melaksanakan pembelajaran, — tingkat penguasaan kompetensi guru yang bersangkutan–, selanjutnya diupayakan solusi, pembinaan dan tindak lanjut tertentu sehingga guru dapat memperbaiki kekurangan yang ada sekaligus mempertahankan keunggulannya dalam melaksanakan pembelajaran.Jones dkk. sebagaimana disampaikan oleh Sudarwan Danim (2002) mengemukakan bahwa “ menghadapi kurikulum yang berisi perubahan-perubahan yang cukup besar dalam tujuan, isi, metode dan evaluasi pengajarannya, sudah sewajarnya kalau para guru mengharapkan saran dan bimbingan dari kepala sekolah mereka”. Dari ungkapan ini, mengandung makna bahwa kepala sekolah harus betul-betul menguasai tentang kurikulum sekolah. Mustahil seorang kepala sekolah dapat memberikan saran dan bimbingan kepada guru, sementara dia sendiri tidak menguasainya dengan baik5. Kepala sekolah sebagai leader (pemimpin)
Gaya kepemimpinan kepala sekolah seperti apakah yang dapat menumbuh-suburkan kreativitas sekaligus dapat mendorong terhadap peningkatan kompetensi guru ? Dalam teori kepemimpinan setidaknya kita mengenal dua gaya kepemimpinan yaitu kepemimpinan yang berorientasi pada tugas dan kepemimpinan yang berorientasi pada manusia. Dalam rangka meningkatkan kompetensi guru, seorang kepala sekolah dapat menerapkan kedua gaya kepemimpinan tersebut secara tepat dan fleksibel, disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan yang ada. Kendati demikian menarik untuk dipertimbangkan dari hasil studi yang dilakukan Bambang Budi Wiyono (2000) terhadap 64 kepala sekolah dan 256 guru Sekolah Dasar di Bantul terungkap bahwa ethos kerja guru lebih tinggi ketika dipimpin oleh kepala sekolah dengan gaya kepemimpinan yang berorientasi pada manusia.Kepemimpinan seseorang sangat berkaitan dengan kepribadian dan kepribadian kepala sekolah sebagai pemimpin akan tercermin dalam sifat-sifat sebagai barikut : (1) jujur; (2) percaya diri; (3) tanggung jawab; (4) berani mengambil resiko dan keputusan; (5) berjiwa besar; (6) emosi yang stabil, dan (7) teladan (E. Mulyasa, 2003).6. Kepala sekolah sebagai pencipta iklim kerja
Budaya dan iklim kerja yang kondusif akan memungkinkan setiap guru lebih termotivasi untuk menunjukkan kinerjanya secara unggul, yang disertai usaha untuk meningkatkan kompetensinya. Oleh karena itu, dalam upaya menciptakan budaya dan iklim kerja yang kondusif, kepala sekolah hendaknya memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut : (1) para guru akan bekerja lebih giat apabila kegiatan yang dilakukannya menarik dan menyenangkan, (2) tujuan kegiatan perlu disusun dengan dengan jelas dan diinformasikan kepada para guru sehingga mereka mengetahui tujuan dia bekerja, para guru juga dapat dilibatkan dalam penyusunan tujuan tersebut, (3) para guru harus selalu diberitahu tentang dari setiap pekerjaannya, (4) pemberian hadiah lebih baik dari hukuman, namun sewaktu-waktu hukuman juga diperlukan, (5) usahakan untuk memenuhi kebutuhan sosio-psiko-fisik guru, sehingga memperoleh kepuasan (modifikasi dari pemikiran E. Mulayasa tentang Kepala Sekolah sebagai Motivator, E. Mulyasa, 2003)7. Kepala sekolah sebagai wirausahawan
Dalam menerapkan prinsip-prinsip kewirausaan dihubungkan dengan peningkatan kompetensi guru, maka kepala sekolah seyogyanya dapat menciptakan pembaharuan, keunggulan komparatif, serta memanfaatkan berbagai peluang. Kepala sekolah dengan sikap kewirauhasaan yang kuat akan berani melakukan perubahan-perubahan yang inovatif di sekolahnya, termasuk perubahan dalam hal-hal yang berhubungan dengan proses pembelajaran siswa beserta kompetensi gurunya.
Sejauh mana kepala sekolah dapat mewujudkan peran-peran di atas, secara langsung maupun tidak langsung dapat memberikan kontribusi terhadap peningkatan kompetensi guru, yang pada gilirannya dapat membawa efek terhadap peningkatan mutu pendidikan di sekolah.
D. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :1. Kompetensi guru merupakan gambaran tentang apa yang seyogyanya dapat dilakukan seseorang guru dalam melaksanakan pekerjaannya, baik berupa kegiatan, berperilaku maupun hasil yang dapat ditunjukkan..2. Kompetensi guru terdiri dari kompetensi pedagogik, kompetensi personal, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional.3. Sejalan dengan tantangan kehidupan global, peran dan tanggung jawab guru pada masa mendatang akan semakin kompleks, sehingga menuntut guru untuk senantiasa melakukan berbagai peningkatan dan penyesuaian penguasaan kompetensinya.4. Kepala sekolah memiliki peranan yang strategis dalam rangka meningkatkan kompetensi guru, baik sebagai educator (pendidik), manajer, administrator, supervisor, leader (pemimpin), pencipta iklim kerja maupun sebagai wirausahawan.5. Seberapa jauh kepala sekolah dapat mengoptimalkan segenap peran yang diembannya, secara langsung maupun tidak langsung dapat memberikan kontribusi terhadap peningkatan kompetensi guru, dan pada gilirannya dapat membawa efek terhadap peningkatan mutu pendidikan di sekolah.Referensi :Bambang Budi Wiyono. 2000. Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah dan Semangat Kerja Guru dalam Melaksanakan Tugas Jabatan di Sekolah Dasar. (abstrak) Ilmu Pendidikan: Jurnal Filsafat, Teori, dan Praktik Kependidikan. Universitas Negeri Malang. (Accessed, 31 Oct 2002).Depdiknas. 2006. Standar Kompetensi Kepala Sekolah TK,SD, SMP, SMA, SMK & SLB, Jakarta : BP. Cipta Karya———–. 2006. Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. http://www.depdiknas.go.id/ inlink. (accessed 9 Feb 2003).Louise Moqvist. 2003. The Competency Dimension of Leadership: Findings from a Study of Self-Image among Top Managers in the Changing Swedish Public Administration. Centre for Studies of Humans, Technology and Organisation, Linköping University.Mary E.Dilworth & David G. Imig. Professional Teacher Development and the Reform Agenda. ERIC Digest. 1995. . (Accessed 31 Oct 2002 ).National Board for Professional Teaching Standards. 2002 . Five Core Propositions. NBPTS HomePage.. (Accessed, 31 Oct 2002).Sudarwan Danim. 2002. Inovasi Pendidikan : Dalam Upaya Meningkatkan Profesionalisme Tenaga Kependidikan. Bandung : Pustaka Setia.Suyanto dan Djihad Hisyam. 2000. Refleksi dan Reformasi Pendidikan Indonesia Memasuki Millenium III. Yogyakarta : Adi Cita.*)) Akhmad Sudrajat, M.Pd. adalah staf pengajar di Pendidikan Ekonomi FKIP-UNIKU dan Pengawas Sekolah di lingkungan Dinas Pendidikan Kabupaten Kuningan

Jumat, 25 Januari 2008