Senin, 25 Mei 2009

MENGAPA MBS PERLU DIPERKENALKAN SECARA LUAS

Manajemen Berbasis Sekolah ( MBS ) atau School Based Management ( SBM ) bukan sesuatu yang asli Indonesia meskipun esensi tertentu sebenarnya sudah berada ( eksis ) di Indonesia sejak sebelum Indonesia merdeka. Hal ini terbukti dengan adanya berbagai lembaga pendidikan swasta ( swadaya masyarakat ), bahkan sebagian besar berbentuk lembaga pendidikan " tradisional " yang berlandaskan agama maupun budaya.
Sebagian konsep, MBS telah diterapkan di beberapa negara maju. Sebagai model manajemen yang terkait dengan sistem pendidikan setempat ( negara yang bersangkutan ), tidak satupun negara yang menerapkan model yang sama dengan negara lain. Demikian juga penerapannya di Indonesia, sangat terkait dengan sistem pemerintahan ( yang baru mengalami perubahan besar dan implementasinya masih terus berkembang ). Sistem pendidikan, kebijakan yang mendukung, serta pengalaman masa lalu dan pengalaman negara lain yang dapat dijadikan guru juga ikut terkait.
Tidak kalah pentingnya adalah suasana masyarakat ( semua pihak ) yang menghendaki desentralisasi ( otonomi ), transparansi, demokratisasi, akuntabilitas (pertanggung jawaban), serta dorongan peningkatan peran masyarakat dalam hampir semua kebijakan dan layanan publik, termasuk pendidikan.
Diperkenalkannya MBS di Indonesia cukup mendapat respon/tanggapan yang positip meskipun banyak terjadi pro dan kontra baik secara terus terang maupun secara diam-diam.Bagi yang antusias menerima, mereka ingin segera memperoleh kepastian, ingin memperoleh pedoman, petunjuk, bahkan menuntut adanya definisi/batasan pengertian yang pasti.Di satu sisi, hal ini tentu menggembirakan (dari segi keberhasilan sosialisasi inovasi), tetapi disisi lain tergambar kebiasaan-kebiasaan lama, yaitu keseragaman pola kerja, ketergantungan kepada petunjuk dan kurang adanya kesadaran akan potensi diri dan lingkungan yang dimiliki. Selain itu ada yang pesimis bahkan sinis terhadap perubahan yang diperkenalkan dengan alasan barang "impor", apalagi yang akan diperkenalkan untuk membuat pusing sekolah ( untuk sekolah-sekolah tertentu ), sementara di negara asalnya (menurut pendangan yang bersangkutan, penulis ) sudah ditinggalkan karena dianggap tidak menghasilkan apa-apa.
Keberhasilan pengenalan MBS di Indonesia (sungguhpun secara bertahap atau incrementa) tidak lepas dari kondisi objektif yang mendukung pada saat yang tepat. Elemen-elemen yang mendukung tersebut, antara lain iklim perubahan pemerintahan yang menghendaki transparansi, demokratisasi, akuntabilitas, desentralisasi dan pemberdayaan potensi masyarakat, konsepsi manajemen pendidikan yang tyelah lama dipendam oleh para tokoh pendidikan untuk diaktualisasikan serta sebagian birokrat yang secara diam-diam konsisten ingin melakukan reform tanpa banyak publikasi.
Landasan Hukum yang kuat untuk dikeluarkannya atau diterapkannya Manajemen Berbasis Sekolah atau School Based Management dan Pendidikan Berbasis Masyarakat atau Community Based Education. yaitu :
  1. UU No. 22 tahun 1999 tentang pemerintah Daerah
  2. PP No. 25 tahun 2000 tentang kewenangan Pemerintah dan kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonomi
  3. UU No. 25 Tahun 2005 tentang Propenas
  4. Kepmendiknas No. 122/U/2001 tentang Rencana Strategis Pembangunan pendidikan, pemuda, dan olah raga tahun 2000-2004
  5. UU Sisdiknas tahun 2003
Gagasan-gagasan berdasarkan hasil studi, baik di luar maupun di dalam negeri, tentang sekolah yang efektif yang hanya mungkin direalisasikan kalau MBS diterapkan, serta memperoleh peluang dalam suasana reformasi di bidang pendidikan dengan tema otonomi pedagogis sehingga turut mendorong diperkenalkannya MBS di Indonesia.
Sementara ini, kalangan birokrat pendidikan yang berpikiran jernih melihat peluang ini sebagai harapan baru untuk melakukan efisiensi manajemen pendidikan dan sekaligus upaya peningkatan mutu. Hal ini karena sekolah ( dengan perluasan kewenangannya ) melalui MBS didorong untuk kompetitif dalam berbgai hal (termasuk mutu) dengan melibatkan peran serta masyarakat stakeholders utama dalam mempertanggungjawabkan hasil pendidikannya.
Mempertimbangkan hal itu, model MBS di Indonesia diperkenalkan dengan pendekatan fleksibel dan menyesuaikan diri dengan konteks Indonesia serta dirintis dengan nama Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS)

Rabu, 20 Mei 2009

PEMANFAATAN BARANG BEKAS, BAHAN, DAN PERALATAN SEDERHANA SEBAGAI MEDIA PEMBELAJARAN

A. PENDAHULUAN
Pemanfaatan barang bekas dan peralatan sederhana sebagai media pembelajaran bukanlah hal yang baru dalam dunia pendidikan. Sebelum media pendidikan modern hadir, para guru telah menggunakan berbagai media dan alat peraga buatannya sendiri untuk menjelaskan materi pelajarannya. Para guru zaman dulu mungkin lebih banyak memiliki kreativitas karena dipaksa oleh keadaan yang masih terbatas.Mereka harus bekerja keras setiap saat supaya siswanya bisa belajar dan menyerap materi pelajaran semaksimal mungkin.
Dengan datangnya media bertehnologi modern memnyebabkan berbagai masalah yang selama puluhan tahun tidak bisa dipecahkan telah mampu dipecahkan dan memungkinkan mata ajaran apapun diajarkan dan dijelsakan sebaik-baiknya. Namun banyak para guru di kota-kota besar yang telah terlena dengan kemajuan tehnologi yang digunakan dalam dunia pendidikan. Media modern telah memudahkan mereka memecahkan berbagai masalah di dalam proses belajar mengajar. Ketika dalam keadaan tertentu mereka harus jauh dari media tersebut, mereka menjadi bingung karena ketergantungan kepada media modern. Mereka telah melupakan media yang dibuat dan dikembangkan dari bahan-bahan sederhana di sekitar mereka. Akibatnya mereka menjadi kurang peka terhadap potensi di sekitar lingkungan mereka.
Media modern juga telah turut serta mematikan kreativitas guru dan siswanya. Media modern hampir dapat dipastikan telah menutup kemungkinan mereka untuk mengembangkan media bagi kepentingan mereka sendiri. Media modern telah menjadikan mereka pasif dan kurang kreatif.
B. TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan penulisan materi ini adalah sebagai berikut :
1. Menggugah para guru bahwa media sederhana dari barang bekas dan peralatan sederhana tetap dibutuhkan dan dapat berfungsi efektif, tidak kalah dengan media modern.
2. Membuka ruang dan memberikan peluang para guru untuk menjadi bagian dari ( kelompok ) masyarakat yang terlibat dalam proses pembelajaran secara aktif kreatif
3. Membangun dunia pendidikan yang lebih baik
4. Membangun kesadaran akan pentingnya lingkungan sekitar untuk dijadikan media terbaik bagi pendidikan.
C. MANFAAT BARANG BEKAS, BAHAN, PERLATAN SEDERHANA SEBAGAI MEDIA PEMBELAJARAN
Berdasarkan kesadaran tentang pentingnya media sederhana yang terbuat dari bahan bekas yang terdapat di sekitar lingkungan guru dan siswa, kita dapat mencatat tiga manfaat pembuatan media sederhana yang terkait satu dengan yang lainnya :
1. Membangun komunitas berbasis pendidikan kreatif. Dalam hal ini melibatkan para siswa sedini mungkin dalam pengembangan dan penggunaan media sederhana dari barang bekas dan perlatan sederhana untuk mengembangkan kemampuan berimajinasi, serta mengembangkan ketrampilannya sesuai dengan usia dan mata ajaran yang dipelajarinya. Disamping itu juga bisa memberikan kesempatan kepada pesrta didik untuk melakukan eksplorasi di berbagai bidang yang menyangkut pengetahuan, minat dan bakat melalui pengembangan media sederhana yang dibuatnya.
2. Mengembangkan berbagai alternatif media sederhana yang kreatif dan berkesinambungan sehingga mampu membantu anak-anak didik tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang kritis, kreatif, mandiri ( otonom ) dan peduli terhadap orang lain dan lingkungannya.
3. Mengembangkan jaringan kerja ( network ) para guru dan pendidik untuk menggalang kerjasama dalam upaya mengembangkan berbagai media alternatif yang kreatif, sederhana dan murah sebagai gerakan guru mandiri yang peduli lingkungan sekitar sekolah dan masyarakat.
Berdasarkan tiga manfaat di atas, maka diharapkan guru untuk mengembangkan suatu media sederhana, mudah digunakan, dan bisa dibuat oleh siswa sendiri. Media tersebut juga harus merupakan perangkat komunikasi bagi guru dengan siswanya. Melalui media yang dikembangkan, para siswa belajar berkomunikasi dengan lingkungannya, lingkungan sosialnya serta dengan dirinya sendiri. Melalui media itu pula mereka belajar mengerti dan memahami lingkungan alam dan sekitarnya, mengerti dan memahami interaksi sosial dengan orang-orang disekitarnya, dan mampu mengembangkan fantasi, daya imajinasi, dan kreativitasnya. Cara belajar seperti ini berarti menerapkan Integrated Learning dengan pendekatan prinsip belajar sambil bekerja dan bermain, sesuai dengan kematangan dan perkembangan fisik dan psikologis anak, dan disajikan secara atraktif, kreatif, aman, dan menyenangkan.
Disamping itu pula dalam hal mengembangkan media pembelajaran yang berupa barang bekas dan sederhana dalam dunia pendidikan perlu mendapat dukungan dari orang tua siswa untuk memaksimalkan akan mafaat dari barang bekas dan sederhana tersebut.
Media pembelajaran yang digunakan oleh guru pada intinya adalah memberikan kemudahan dalam menyampaikan materi pelajaran kepada siswa. Hal itu berarti media yang kita gunakan adalah untuk kepentingan siswa.